Shalat Jum’at: UIN dan ITB
Setitik noda hitam di atas kaib putih akan terlihat
besar. Tapi noda hitam di kain yang hitam atau tidak putih, kurang terlihat
keberadaannya. Inilah ibarat UIN dan ITB dalam kehidupan keagamaannya.
Kita tidak pernah mendengar
keburukan dari ITB tentang kehidupan religiusnya. Kecuali kebaikan-kebaikan.
Tapi kalau UIN, sepertinya jelek terus. Seperti tidak ada baiknya. Contohnya
musim shalat Jum’at. Di ITB, makan-makan dan minum, duduk, jalan-jalan,
ndobrol berpacaran. Sama sekali tak ada
persolan. Lebih dari itu sekalipun. Hiruk pikuk ramai sekali. Layaknya di pasar
yang dodominasi oleh kulinner. Coba Anda saksikan sendiri pas adzan telah
dikumandangkan. Sudah tamat khutbah yang
pertama, masih ratusan orang yang lalu lalang di pinggir mesjid. Bahkan hingga
baca do’a sekalipun masih belum ada yang masuk. Bukan main ekstrimnya dalam
pandangan saya.
Di UIN pemandangan seperti itu
hampit tidak ada. Paling terlihat waktu khutbah dimulai masih ada satu dua
orang yang terlambat. Pokonya sangat jauh dengan ITB. Tapi meski kecil
dibanding ITB, tetap saja UIN itu dicap jau lebih buruk terutama oleh Jama’ah
Tablig. Ini wajar karena UIN lembaga agama, Islam lagi. Sedang ITB berlabel
institusi sekuler. Tapi itulah penilaian masyarakat. Yang besar dianggap kecil.
Yang kecil dibesarkan. Hasanatul abrar,
saiatul muqorrobin.i DEmikian kata kaidah ilmu kalam (aqoid). Ketika menyikapi dosa Adam jika dibandingkan dengan bukan
nabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar