Sabtu, 26 Mei 2012

DEBAT SENGIT MENGENAI HARI JADI JAWA BARAT





DEBAT SENGIT
MENGENAI HARI JADI JAWA BARAT


Pendahuluan
            Kemarin saya ikut menghadiri seminar mengenai hari jadi Jabar. Seminar itu mengambil tema Uji Publik Hari Jadi Jawa Barat.. Dari temanya kita bisa mengetahui bahwa masalah yang dirumuskan adalah minta kesepakatan masyarakat Jawa Barat tentang Hari Jadi Jawa Barat. Pemerintah dan DPR rupanya ketakutan kalau diptuskan sepihak akan terjadi penentangan dari pihak masyarakat. Maklum harus dipahamai di Jawa Barat terjadi kesenjangan antara elit politik dengan elit intelektual dan akademisi. Maksud saya elit poltik Jabar berlatar belakang pendidikan awam, sedang masyarakatnya sangat jauh melampaui dalam bidang kecerdasan inteketual dan akademis. Bayangkan saja ,secara akademisi gubernur di propinsi ini hanya punya gelar pas -pasan. Sedang lingkungan akademis yang mengitarinya sangat tinggi secara akademis. Jadi kesenjangan akademis antara elit politik dan elit intelektual bagaikan bumi dan langit. Tapi itulah resiko demokrasi. Biarkan pun salah asal didukung oleh mayoritas menjadi baik. Sebuah logika yang biasa dipakai oeh Heraklit dan kaum Sofis pada zaman Yunani. Padahal hati nurani dan fakta selalu mengatakan: yang banyak belum tentu benar. Qur’an menyebut  sindiran bahwa yang kebanyakan itu adalah salah. Sedang yang benar itu tak ada ,kecuali sedikit (wa qolilun min ibadiya syakur).
            Dengan  fakta kesenjangan intektual antara  elit dan masyarakat, akibatnya elit potiltik dalam hal ini gubernur tidak mampu memutusakn Hari Jadi Negeri Jabar. Sungguh ironis dan menyedihkan. Padahal dari 33 propinsi di Indonseia, semuanya telahpunya hari jadi kecuali Sumatra Barat dan Jawa Barat. Padahal secaraplitis hari jadi harus ditentukan oleh DPR dan Gubernur. Mana ada provinsi yang begitu alot hanya untuk menentukan hari jadi. Menru Prof. Asep Ramlan dan Prof. Dr. Niana Lubis, debat aloit  hari jadi ini sudah berjalan dua tahun silam. Bagaimana ini bisa terjadi?. Nampaknya elit sangat rendah kreatifitas dan imajinasinya. Saya kira propinsi lain tidak mengalami kendala mentak rendah diri (wande complek) seperti ini. Banten, misalnya sudah beberpa tahun mentetapkan hari jadinya. Yakni tahun 2000. Padahal banten lahir 10 taun yang lalu. Sedang Jabar sudah lahir 84 tahun silam (versi Prof. Dr. Ateng Saprudin, SH); 65 tahun silam (versi Prof. Dr. Wildan); atau lebih muda, yakni 60 tahun, seperti dalam versi persi Prof. Dr. Indra Prawira. Kasarnya, Cuma gitu aja ok ngak berani.
            Fakta seperti ini menunjukan  terlalu kuatnya posisi masyarakat daam tataran politik,Sehingga terasa begitu kuat mengontrol kekuasaan pada satu sisi. Dan sangat lemahnya elit politik dalam membuat dan mengontrol kebijakan pada sisi lain. Mengapa? Karena lemahnya kharima dan rendahnya bobot intelektual akademis yang dimiliki elit. Begiilah jadinya.
            Tulisan berikut ini akan berusaha mengeukakan kembali perdebtan sengait di atas yang terjadi hari kemarin (13 Oktober 2010) di HotelHorison. Diskusi itu berlangsung selama  6 jam. Sungguh menrik perhatian.
            Pembicara terdiri dari tujuh orang. Lima diantaranya adalah pakar sejarah. Kelima pakar ini masing masing dari UIN Bandung, UPI dan UNPAD.  Mereka adalah Prof. Dr. Wildan, Dr. Mumuh Muhsin Zakaria, Drs Awaudin, M.Hum, Dr. Dede Supriatna dan Ading Kusdiana, M.Hum. Sedang dari dua pakar lainnya adalah pakar Hukum Tata Negara dari UNPAD dan UNPAR. Yaitu Prof. Dr. Ateng Safrudin, SH. Dan Prof. Dr. Indra Prawira, SH, MKN.
            Dari ketujuh pmbicara ini tiga diantara sangat mewakili. Ketiganya adlah Prof. Dr. Ateng Safrudin, Prof Dr. Wildan dan Prof. Dr. Indra Prawira. Sub Tema yang digagas adlah tentang sodoran tanggal hari jadi jabar. Sub Tema itu diajukan oleh Yayasan Masyarakat Sejarah ebagi wkil pemrintah untuk diujipiblikan kepada masyarakat. Ajuan pertama adalah tanggal 1 Januari 1926. Ajuan kdua tanggal 19 Agustus 1945 dan ketiga, tanggal 4 Juli 1950.
            Prof. Ateng pada dasarnya hanya meyodorkan saja. Sesuai bukti hukum dan sejarah. Bahwa ketiga tanggak itu memang pernah terjadi dlam sejarah hukum ketatnegaraan di Indonesia. Jadi ajuan itu benar-benar fakta. Bukan fiktif. Silahkan mana saja yang akan akan diambil, katanya. Tapi secra implisit dia menegaskan tanggal 1 Janhuarai 1926 sebagai Hari Jadi Jawa Barat.
            Alasan beliau natara lain, kata jawa barat mulai terlahir pada masa itu. Dalam lembaran Negara Hindia Belanda tertulid west Java (Jawa Barat). Pada waktu itu Belanda hanya mebagi dua Jawa: Jawa Barat (Pasundan) dan Jawa Timur. Mungkin pengklasipikasinanya berdar pada budaya dan bahasa. Itu alasan pertama. Alasan kedua, lahirnya provinsi Jawa Barat pada waktu itu bukan semata-mata ciptaan Belanda. Melainkan tuntutan warga Bumi Putra untuk mendidrikn pemerintahan sendiri (self Bastuur). Menurutnya sejak pecah perang Diponegoro atau Perang Jawa tahun 1825-1830, kebijakan pemerintah melunak. Kebijakan itu yang dinakaman politk etis. Yang semula digagas dan diperjuanagan seorang indo-Belada Dowes Decker dan Van Deventer. Inti dari gagasan politik etis adalah pendidikan. Buah dari pendidikan itu natara lain menigkatnya kesadran rakyat Bumi Putra kemerdekaanya. Awal abad ke-20 dan paruh abad 20 kesadran itu mulai hadir dalam bentuk tindakan. Misalnya Mjncul SI (1905), Budi Utomo (1908) dan puncaknay adlah 1928, dengan hiarnya Sumpah Pemuda. Jadi masuk akal jika 1926 rakayat Bumi Putra mendpat apresiai untuk mendidrkan pemrintah sendiri (self Bastuur). Pendirian West Jawa dimaknai sebagai rintisan untuk menjadi Indoseia besatu. Dan utnuk itu Sumpah Pemuda telah membuktikannya.
            Namun sayang pendpat ini mendpat penolkan secara kalamasi baik dari sesama nara sumber atau[u peserta. Kecuali dua orang. Yaitu nara sumber sendiri, Prof Ateng dan Syamsudin, MA dari peserta. Sungguh seru diskusi ini.
            Slanjutnya Prof. Dr. Wildan. Beliau sejawrawan UPI. Gaya bicaranya khas, menggebu, jelas, cepat namun cerdas. Beliau berisikukuh bahwa yang layak dijadikan hari jadi jabar adalah tanggal 19 Agustus 1945. Apa alasannya? Pertama, hari itu mempunyai kekauatan legal-formal. Jadi ada dasar hukunya. Yakni sebuah keptuisan yang dikin oleh PPKI (Panitia Persiapan Kmedekaan Indonesia). Pada tanggal itu PPKI membentuk 8 Provinsi, dan yang pertama dan utama adalah Jawa Barat. Kedua, tanggal 19 Agustus, masih dalam suasana semangat kemerdekaan. Jaddi momentum kebangsaan itu sangat layak untuk dijadikan hari bsesar Jabar. Tanggal itu mempunyai semangat nasionalisme yang kuat. Sebagai peristiwa yang menetukan arah jarum sejarah bagi bangsa Indoseia dan Jawa Barat jhususnya. Oleh karena itu tanggal 19 Agustus 1945 memenuhi kriteria legal-fornal, teknis, histioris dan nasionalis.
            Sepertinya pendpat inilkah yang mendapat sambutan paling ramai. Dari tujuh nara sumber, 5 di antaranya mendukung gagasan ini. Termasuk Prof. Nina – yang padahal sebagai moderator – mengajukan dan mendukung pendapat ini. Ada nilai historis dan kebngsaan pda momentum ini, katanya. Hadirin pun—yang jumlahnya sekitar 500 orang – mendukung pendapat ini. Kecuali satu, yaitu Dr. Syamsudin dari UIN Bandung. Dan belaiau pula yang membuat DR. Indra berang dan sewot karena mendapat keritikan dari Dr.Syamsuidn.
            Terakhir adalah giliran pakar hukum Tata Neagra, Prof. Dr. Indra Prawira. Beliau sangat tegas, tangkas dan cerdas dalam mengemukakan argumen nya. Belaiu mengemukakan retorikanya yang memukau. Persisi seperti kaum sofis dalam menyakinkan bangsa Atena utnuk mengikiti keinginannya pada zaman kuno.
            Pertama. Belaiau mengkritik habis pengajuan 1 Januari 1926 sebagai hari jadi Jabar. Alasan nya adalah sangat berbau kolonialis. Adanya West Java sebagai provinsi dasarnnya adalah untuk kepentingan Belanda. Adalah betul pernah ada gerakan sel Bastur dari kaum Bumi Putra. Tapi kenyatannya pemerintahan gubernuran dipegang oeh kaum kolonial sampai tahun 1945. Atau sekitar 17 tahun, seluruhnya pejabatnya tidak ada kecuali dari bagsa Belnda.  Gubernur itu alah Hilten (1925-1029); Hartelust (1929-1931); Smitzler (1931-1934) dan Van Der Hoek (1934-2942). Jadi sama sekali tidak ada orang Irlandernya. Apaladi orang Pasundan.
            Kedua, belaiu mengkritik tahun 19 Agusstus 1945. Secara hukum tanggal itu mempunayi cacat hukum. Sebab suatu laembaran negara dianggap sah kalau sudah dalam bentuk tertlis. Sedang pada waktu itu, walau[un ada keputusan negara yanmg mengikat, itu semua tidak konstitutif. Itu hanya sekadar deklarasi (pernyataan). Jadi sangat tidak punya kekutan hukum. Karenaya sngat tika beralsan secara hukum jika menjadikan tanggal 19 Agusstus  1945 sebagai hari jadi Jabar. Selanjutnya belaiau menegaskan dua jenis konsep dalam bidang hukum: deklar dan konstitutif. Katanya, deklar tidak mengikat. Baru setelah diundangakan (konstitutif) punya kekuatan memgungat secra hukum. Sedang pada saat itu aspek hukum yang perta itu belum ada. Ketetapan yang konstitutif ini baru ada 5 thaun kemudian. Yakni tahun 1950. Ketika Indonesia kembali mejadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
            Ketiga, tanggal 4 juli tahun 1950. Titi Mangsa inilah yang diduung habis-habisan oleh Prof. Indra. Titi Mangsa ini memenuhi sayarat-syarat historis dan yuridis. Secara yuridis jelas sekali keutan hukumnya. Dsar hukum pembentukan propinsi Jawa Barat mengacu pada lembaran negra tanggal 4 Juli tahun 1950. Dan ini memang  fakta yang harus diakui sampai sekarang. Jika titimangsa jabar tidak pada tanggal ini, maka sedikit banyak akan merubah huku ketatanegaraan kita. Meski kata baliau tidak mutlak. Bisa saja misalnya , hari ulang tahunnya bebeda degan hari jadinya. Suntu penapat yang terkesan ambivalen rupanya. Tanggal ini menurut pakar HUKUM Tata Negara ini, bisa dipertanggungjawabkan secara yuridis.
            Secara historis tanggal 4 Juli 1950, sebagai momen penting bagi rakyat Jawa Barat. Mengapa demikan? Karena pada waktu itu Negara Pasundan sebagai negara pertama yang menyatakan kembali kepangkuan NKRI. Dimana sebelumnay Nusantra dipecah dal negara RIS (Republik Indonesia Serikat), sebagai akibat dari diterimanya Perjanjian Renville. Yanmg mna perjanjian ini lebih menguntungkan Belanda daripada Indonsia. Denga perjanjian ini secara implisit, Indonesia ingin kembali ke Indonesia. Dua alasan inilah yang menjadi daasr mengapa harijadi Jabar srelayaknya pada tanggal 4 Juli 1950.
           

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar