DEBAT
SENGIT
MENGENAI
HARI JADI JAWA BARAT
Pendahuluan
Kemarin saya ikut menghadiri
seminar mengenai hari jadi Jabar. Seminar itu mengambil
tema Uji Publik Hari Jadi Jawa Barat.. Dari temanya kita bisa
mengetahui
bahwa masalah yang dirumuskan adalah minta kesepakatan masyarakat Jawa Barat
tentang Hari Jadi Jawa Barat. Pemerintah dan DPR
rupanya ketakutan kalau diptuskan sepihak
akan terjadi penentangan dari
pihak masyarakat. Maklum
harus dipahamai di Jawa Barat terjadi kesenjangan antara elit politik dengan
elit intelektual dan akademisi. Maksud
saya elit poltik Jabar berlatar belakang pendidikan awam, sedang masyarakatnya
sangat jauh melampaui dalam bidang kecerdasan inteketual dan akademis. Bayangkan
saja ,secara akademisi gubernur di propinsi ini hanya punya
gelar pas -pasan. Sedang lingkungan
akademis yang mengitarinya sangat tinggi secara akademis. Jadi kesenjangan
akademis antara elit politik dan elit intelektual bagaikan bumi dan langit.
Tapi itulah resiko demokrasi. Biarkan pun salah asal didukung oleh mayoritas
menjadi baik. Sebuah logika yang biasa dipakai oeh Heraklit dan kaum Sofis pada
zaman Yunani. Padahal hati nurani dan fakta selalu mengatakan: yang banyak
belum tentu benar. Qur’an menyebut sindiran bahwa yang kebanyakan itu adalah
salah. Sedang yang benar itu tak ada ,kecuali sedikit (wa qolilun min
ibadiya syakur).
Dengan fakta kesenjangan intektual antara elit dan masyarakat, akibatnya elit potiltik
dalam hal ini gubernur tidak mampu memutusakn Hari Jadi Negeri Jabar. Sungguh
ironis dan menyedihkan. Padahal dari 33 propinsi di Indonseia, semuanya
telahpunya hari jadi kecuali Sumatra Barat dan Jawa Barat. Padahal secaraplitis
hari jadi harus ditentukan oleh DPR dan Gubernur. Mana ada provinsi yang begitu
alot hanya untuk menentukan hari jadi. Menru Prof. Asep Ramlan dan Prof. Dr.
Niana Lubis, debat aloit hari jadi ini
sudah berjalan dua tahun silam. Bagaimana ini bisa terjadi?. Nampaknya elit
sangat rendah kreatifitas dan imajinasinya. Saya kira propinsi lain tidak
mengalami kendala mentak rendah diri (wande complek) seperti ini. Banten,
misalnya sudah beberpa tahun mentetapkan hari jadinya. Yakni tahun 2000.
Padahal banten lahir 10 taun yang lalu. Sedang Jabar sudah lahir 84 tahun silam
(versi Prof. Dr. Ateng Saprudin, SH); 65 tahun silam (versi Prof. Dr. Wildan);
atau lebih muda, yakni 60 tahun, seperti dalam versi persi Prof. Dr. Indra
Prawira. Kasarnya, Cuma gitu aja ok ngak berani.
Fakta seperti ini menunjukan terlalu kuatnya posisi masyarakat daam
tataran politik,Sehingga terasa begitu kuat mengontrol kekuasaan pada satu
sisi. Dan sangat lemahnya elit politik dalam membuat dan mengontrol kebijakan
pada sisi lain. Mengapa? Karena lemahnya kharima dan rendahnya bobot
intelektual akademis yang dimiliki elit. Begiilah jadinya.
Tulisan berikut ini akan berusaha
mengeukakan kembali perdebtan sengait di atas yang terjadi hari kemarin (13
Oktober 2010) di HotelHorison. Diskusi itu berlangsung selama 6 jam. Sungguh menrik perhatian.
Pembicara terdiri dari tujuh orang.
Lima diantaranya adalah pakar sejarah. Kelima pakar ini masing masing dari UIN
Bandung, UPI dan UNPAD. Mereka adalah
Prof. Dr. Wildan, Dr. Mumuh Muhsin Zakaria, Drs Awaudin, M.Hum, Dr. Dede
Supriatna dan Ading Kusdiana, M.Hum. Sedang dari dua pakar lainnya adalah pakar
Hukum Tata Negara dari UNPAD dan UNPAR. Yaitu Prof. Dr. Ateng Safrudin, SH. Dan
Prof. Dr. Indra Prawira, SH, MKN.
Dari ketujuh pmbicara ini tiga
diantara sangat mewakili. Ketiganya adlah Prof. Dr. Ateng Safrudin, Prof Dr.
Wildan dan Prof. Dr. Indra Prawira. Sub Tema yang digagas adlah tentang sodoran
tanggal hari jadi jabar. Sub Tema itu diajukan oleh Yayasan Masyarakat Sejarah
ebagi wkil pemrintah untuk diujipiblikan kepada masyarakat. Ajuan pertama
adalah tanggal 1 Januari 1926. Ajuan kdua tanggal 19 Agustus 1945 dan ketiga,
tanggal 4 Juli 1950.
Prof. Ateng pada dasarnya hanya
meyodorkan saja. Sesuai bukti hukum dan sejarah. Bahwa ketiga tanggak itu
memang pernah terjadi dlam sejarah hukum ketatnegaraan di Indonesia. Jadi ajuan
itu benar-benar fakta. Bukan fiktif. Silahkan mana saja yang akan akan diambil,
katanya. Tapi secra implisit dia menegaskan tanggal 1 Janhuarai 1926 sebagai
Hari Jadi Jawa Barat.
Alasan beliau natara lain, kata jawa
barat mulai terlahir pada masa itu. Dalam lembaran Negara Hindia Belanda
tertulid west Java (Jawa Barat). Pada waktu itu Belanda hanya mebagi dua Jawa:
Jawa Barat (Pasundan) dan Jawa Timur. Mungkin pengklasipikasinanya berdar pada
budaya dan bahasa. Itu alasan pertama. Alasan kedua, lahirnya provinsi Jawa
Barat pada waktu itu bukan semata-mata ciptaan Belanda. Melainkan tuntutan
warga Bumi Putra untuk mendidrikn pemerintahan sendiri (self Bastuur).
Menurutnya sejak pecah perang Diponegoro atau Perang Jawa tahun 1825-1830,
kebijakan pemerintah melunak. Kebijakan itu yang dinakaman politk etis. Yang
semula digagas dan diperjuanagan seorang indo-Belada Dowes Decker dan Van
Deventer. Inti dari gagasan politik etis adalah pendidikan. Buah dari
pendidikan itu natara lain menigkatnya kesadran rakyat Bumi Putra
kemerdekaanya. Awal abad ke-20 dan paruh abad 20 kesadran itu mulai hadir dalam
bentuk tindakan. Misalnya Mjncul SI (1905), Budi Utomo (1908) dan puncaknay
adlah 1928, dengan hiarnya Sumpah Pemuda. Jadi masuk akal jika 1926 rakayat
Bumi Putra mendpat apresiai untuk mendidrkan pemrintah sendiri (self Bastuur).
Pendirian West Jawa dimaknai sebagai rintisan untuk menjadi Indoseia besatu.
Dan utnuk itu Sumpah Pemuda telah membuktikannya.
Namun sayang pendpat ini mendpat
penolkan secara kalamasi baik dari sesama nara sumber atau[u peserta. Kecuali
dua orang. Yaitu nara sumber sendiri, Prof Ateng dan Syamsudin, MA dari
peserta. Sungguh seru diskusi ini.
Slanjutnya Prof. Dr. Wildan. Beliau
sejawrawan UPI. Gaya bicaranya khas, menggebu, jelas, cepat namun cerdas.
Beliau berisikukuh bahwa yang layak dijadikan hari jadi jabar adalah tanggal 19
Agustus 1945. Apa alasannya? Pertama, hari itu mempunyai kekauatan
legal-formal. Jadi ada dasar hukunya. Yakni sebuah keptuisan yang dikin oleh
PPKI (Panitia Persiapan Kmedekaan Indonesia). Pada tanggal itu PPKI membentuk 8
Provinsi, dan yang pertama dan utama adalah Jawa Barat. Kedua, tanggal 19
Agustus, masih dalam suasana semangat kemerdekaan. Jaddi momentum kebangsaan
itu sangat layak untuk dijadikan hari bsesar Jabar. Tanggal itu mempunyai semangat
nasionalisme yang kuat. Sebagai peristiwa yang menetukan arah jarum sejarah
bagi bangsa Indoseia dan Jawa Barat jhususnya. Oleh karena itu tanggal 19
Agustus 1945 memenuhi kriteria legal-fornal, teknis, histioris dan nasionalis.
Sepertinya pendpat inilkah yang
mendapat sambutan paling ramai. Dari tujuh nara sumber, 5 di antaranya
mendukung gagasan ini. Termasuk Prof. Nina – yang padahal sebagai moderator –
mengajukan dan mendukung pendapat ini. Ada nilai historis dan kebngsaan pda
momentum ini, katanya. Hadirin pun—yang jumlahnya sekitar 500 orang – mendukung
pendapat ini. Kecuali satu, yaitu Dr. Syamsudin dari UIN Bandung. Dan belaiau
pula yang membuat DR. Indra berang dan sewot karena mendapat keritikan dari
Dr.Syamsuidn.
Terakhir adalah giliran pakar hukum
Tata Neagra, Prof. Dr. Indra Prawira. Beliau sangat tegas, tangkas dan cerdas
dalam mengemukakan argumen nya. Belaiu mengemukakan retorikanya yang memukau.
Persisi seperti kaum sofis dalam menyakinkan bangsa Atena utnuk mengikiti
keinginannya pada zaman kuno.
Pertama. Belaiau mengkritik habis
pengajuan 1 Januari 1926 sebagai hari jadi Jabar. Alasan nya adalah sangat
berbau kolonialis. Adanya West Java sebagai provinsi dasarnnya adalah untuk
kepentingan Belanda. Adalah betul pernah ada gerakan sel Bastur dari kaum Bumi
Putra. Tapi kenyatannya pemerintahan gubernuran dipegang oeh kaum kolonial
sampai tahun 1945. Atau sekitar 17 tahun, seluruhnya pejabatnya tidak ada
kecuali dari bagsa Belnda. Gubernur itu
alah Hilten (1925-1029); Hartelust (1929-1931); Smitzler (1931-1934) dan Van
Der Hoek (1934-2942). Jadi sama sekali tidak ada orang Irlandernya. Apaladi
orang Pasundan.
Kedua, belaiu mengkritik tahun 19
Agusstus 1945. Secara hukum tanggal itu mempunayi cacat hukum. Sebab suatu
laembaran negara dianggap sah kalau sudah dalam bentuk tertlis. Sedang pada
waktu itu, walau[un ada keputusan negara yanmg mengikat, itu semua tidak
konstitutif. Itu hanya sekadar deklarasi (pernyataan). Jadi sangat tidak punya
kekutan hukum. Karenaya sngat tika beralsan secara hukum jika menjadikan
tanggal 19 Agusstus 1945 sebagai hari
jadi Jabar. Selanjutnya belaiau menegaskan dua jenis konsep dalam bidang hukum:
deklar dan konstitutif. Katanya, deklar tidak mengikat. Baru setelah diundangakan
(konstitutif) punya kekuatan memgungat secra hukum. Sedang pada saat itu aspek
hukum yang perta itu belum ada. Ketetapan yang konstitutif ini baru ada 5 thaun
kemudian. Yakni tahun 1950. Ketika Indonesia kembali mejadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Ketiga, tanggal 4 juli tahun 1950.
Titi Mangsa inilah yang diduung habis-habisan oleh Prof. Indra. Titi Mangsa ini
memenuhi sayarat-syarat historis dan yuridis. Secara yuridis jelas sekali
keutan hukumnya. Dsar hukum pembentukan propinsi Jawa Barat mengacu pada
lembaran negra tanggal 4 Juli tahun 1950. Dan ini memang fakta yang harus diakui sampai sekarang. Jika
titimangsa jabar tidak pada tanggal ini, maka sedikit banyak akan merubah huku
ketatanegaraan kita. Meski kata baliau tidak mutlak. Bisa saja misalnya , hari
ulang tahunnya bebeda degan hari jadinya. Suntu penapat yang terkesan ambivalen
rupanya. Tanggal ini menurut pakar HUKUM Tata Negara ini, bisa
dipertanggungjawabkan secara yuridis.
Secara historis tanggal 4 Juli 1950,
sebagai momen penting bagi rakyat Jawa Barat. Mengapa demikan? Karena pada
waktu itu Negara Pasundan sebagai negara pertama yang menyatakan kembali
kepangkuan NKRI. Dimana sebelumnay Nusantra dipecah dal negara RIS (Republik
Indonesia Serikat), sebagai akibat dari diterimanya Perjanjian Renville. Yanmg mna
perjanjian ini lebih menguntungkan Belanda daripada Indonsia. Denga perjanjian
ini secara implisit, Indonesia ingin kembali ke Indonesia. Dua alasan inilah
yang menjadi daasr mengapa harijadi Jabar srelayaknya pada tanggal 4 Juli 1950.